Fakta : Sejarah saling bantaian umat Kristen Protestan dan Katolik
Di masa lalu memang
pernah terjadi pemberangusan besar-besaran terhadap semua pihak yang menentang
Gereja Katolik. Bahkan tidak salah kiranya kalau disebutkan bahwa pada
masa-masa itu memang terjadi hegemoni kekuasaan Gereja Katolik. Pada saat itu,
lahirlah sebuah institusi buatan Gereja yang terkenal karena kejahatan dan
kekejamannya, yang disebut sebagai “Inquisisi”. Karen Armstrong, mantan
biarawati yang sekarang sukses sebagai penulis, menggambarkan Inquisisi sebagai
berikut :
“Sebagian besar
kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat
adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai
dengan akhir abad ke-17. Metode Inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja
Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di
negara-negara mereka.”
Sebagian tokoh
Gereja (tentu saja) berusaha melakukan pembelaan yang apologetik dalam masalah
ini. Namun menurut Peter de Rosa (dalam bukunya Vicars of Christ : The Dark
Side of the Papacy), hal ini hanya
menambahkan unsur kemunafikan terhadap sebuah kejahatan (“it merely added
hypocricy to wickedness”). Yang juga sangat mengherankan adalah bagaimana
cara-cara penyiksaan dalam Inquisisi dihalalkan
bahkan oleh mereka yang disebut sebagai ‘orang-orang suci’ atau rohaniwan.
Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol pada tahun 1808, salah satu
kolonelnya yang bernama Lemanouski
melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di
Madrid. Ketika pasukan Lemanouski mendobrak masuk, para agen Inquisisi tersebut
tidak mengakui keberadaan ruang-ruang
penyiksaan dalam biara mereka. Nyatanya, memang terdapat ruang-ruang semacam
itu di bawah tanah. Tempat itu dipenuhi dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya
gila. Tentara Perancis yang sudah biasa melihat kekejaman dan darah
sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan itu. Ruang-ruang penyiksaan itu kemudian dikosongkan,
kemudian biara tersebut diledakkan.
Robert Held, dalam
bukunya yang berjudul “Inquisition” memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang
sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi pada masa-masa itu. Held
memaparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat penyiksaan serta berbagai
metodenya. Kekejaman tersebut bervariasi mulai dari pembakaran hidup-hidup,
pencungkilan mata, membelah tubuh manusia dengan gergaji, pemotongan lidah,
menghancurkan kepala dengan sebuah alat khusus, mengebor kelamin wanita, dan
sebagainya. Yang menarik lagi, sekitar 85 persen dari korban penyiksaan dan
pembunuhan tersebut adalah perempuan. Antara tahun 1450 – 1800, diperkirakan
sekitar 2 – 4 juta perempuan dibakar hidup-hidup di Eropa, baik di
negara-negara Katolik maupun Protestan.
Pada saat itu, Gereja
bertindak sebagai wakil Tuhan dan bisa mengatasnamakan Tuhan dalam segala
tindakannya. Para pemimpin Gereja pun diakui haknya untuk mengampuni dosa
manusia. Pada 31 Oktober 1517, Martin
Luther memberontak pada Paus dengan mempublikasikan 95 poin pernyataan,
terutama menentang praktik penjualan ‘pengampunan dosa’. Pada tahun 1521,
Luther dikucilkan dari Gereja Katolik.
Pada masa itu, terjadi berbagai bentuk kekerasan atas nama agama. Pertarungan
antara Katolik dan Protestan terjadi
dimana-mana, misalnya di Perancis. Dunia mengenang kisah pembantaian kaum
Protestan di Paris oleh kaum Katolik pada tahun 1572 yang dikenal sebagai “The
St. Bartholomew’s Day Massacre”.
Diperkirakan 10.000 orang mati, dan selama berminggu-minggu, jalan-jalan di
Paris dipenuhi dengan mayat yang membusuk. Philip J. Adler dalam bukunya,
“World Civilization” mengungkapkan kesaksian dari seorang yang selamat dari
pembantaian pada hari naas tersebut :
“Tidak seorang pun dapat mengukur berbagai kekejaman yang terjadi dalam
pembunuhan-pembunuhan ini… Sebagian besar mereka dimusnahkan dengan belati.
Tubuh mereka ditikam, anggota tubuhnya dirusak, mereka dihina dengan cemoohan
yang lebih tajam dari pedang… Mereka memukul sejumlah orang tua tanpa perasaan,
membenturkan kepala mereka ke batu di dermaga dan kemudian melemparkan sosok
setengah mati itu ke sungai. Seorang anak yang terbungkus pakaiannya diseret di
jalan dengan tali yang dililitkan di lehernya oleh anak-anak berumur sekitar 9 atau 10 tahun. Seorang anak kecil lainnya,
digendong oleh seorang penjagal, memain-mainkan jenggotnya dan tersenyum
kepadanya, tetapi orang itu bukannya mengasihani si kecil, malahan kemudian
menikamnya dengan belati dan kemudian melemparkannya ke sungai, yang menjadi
merah karena darah dan tidak dapat kembali ke warna asalnya untuk waktu yang
panjang.”
Akibat semua kekejaman ini, pada era berikutnya, yaitu pada abad ke-18,
muncullah sebuah sikap anti-pemuka agama yang dikenal dengan istilah
“anti-clericalism”. Ada sebuah ungkapan pada masa itu yang menyebutkan :
“Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it, and
a priest whether you are in front or behind.”
Kita juga tentu masih ingat kisah tentang bagaimana Galileo harus
sembunyi-sembunyi mempublikasikan teorinya yang mengatakan bahwa bumi mengitari
matahari, bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan oleh Gereja. Akibatnya,
Galileo sempat diancam dan dipaksa untuk meralat teorinya.
Beginilah latar belakang munculnya definisi dogma seperti yang telah dijelaskan
di bagian awal sebelumnya. Bagaimana pun, inilah makna ‘dogma’ yang muncul
dalam benak orang-orang Eropa. Bahkan
ketika disebutkan kata “religion”, mereka lantas berpikir tentang kejumudan,
fanatisme, dogma yang menghancurkan, pemaksaan keyakinan, dan sebagainya. Hal
ini terjadi semata-mata karena sejarah hegemoni Kristen di dataran Eropa pada
masa lalu.
Demikian semoga umat kristiani menyadari sejarah kristen yang kelam itu,
kemudian mereka mau merenung,
mengkritisi atas dogma yang mereka terima selama ini. Sadarlah wahai Kristiani!
0 komentar: