2013 Minus Branding
Serasa air bah, mendadak saja istilah branding menjadi begitu populer di kalangan pengusaha dari segala tingkat. Perusahaan-perusahaan B to B menjadi sadar bagaimana bisnis mereka harus di-branding, biar rezeki lebih lancar. Begitu juga dengan usaha-usaha skala kecil dan menengah. Termasuk rumah makan. Maka, kalau kita keliling Bandung, Yogya, Medan, Surabaya, ataupun kota-kota besar lainnya, kita mulai banyak menemui restoran yang memiliki desain logo yang bagus, interior tertata apik, begitu pula dengan jasa pengiriman barang, atau laundry dan bahkan tempat cuci motor.
Di tahun 2013 kesadaran ini semakin meningkat, tapi juga diiringi kekecewaan orang-orang yang terlebih dahulu “sadar” branding, karena mereka ternyata tidak merasakan pengaruh branding pada usaha mereka. Logo sudah dibuat, tagline telah dipikirkan matang-matang, termasuk desain interior dan seragam karyawan, tapi ternyata usahanya tidak ke mana-mana. Bahkan penjualan terus menurun tanpa tahu sebabnya.
Sementara itu, mereka melihat sirup Tjam Po Lay, Kecap Lele, ataupun gudeg Bu Kasno dari dulu terus bertengger dalam pikiran konsumen, padahal sama sekali tidak menggunakan branding. Tjam Po Lay desainnya bahkan tidak pernah berubah, Kecap Lele juga pelayanannya biasa-biasa saja. Apalagi gudeg Bu Kasno yang baru buka pukul 1 dini hari.
Itulah kekecewaan yang akan muncul di tahun 2013 terhadap branding, seiring dengan “penggemar-penggemar” baru dalam branding. Mereka melihat branding tidak memiliki efek signifikan terhadap usaha mereka, kecuali biaya lebih yang mereka keluarkan.
Kekecewaan yang wajar sebetulnya, mengingat pemahaman kita terhadap branding baru sebatas logo, nama, dan tagline. Atau, kalaupun lebih banter dari itu, adalah sikap ramah pelayan, program promosi yang mengagetkan sekalipun hanya sesaat. Kalau mentok? Yang diutak-atik unsur-unsur brand di atas tadi. Terus saja begitu, sampai kita kelelahan sendiri.
Bahkan ketika kita menghubungi konsultan branding pun, rekomendasinya tidak jauh dari hal di atas. Ganti logo, ganti tagline, atau ganti warna. Biaya dikeluarkan, dan tidak ada hasil apa pun.
Bertemu dengan beberapa pelaku branding yang kecewa tadi, ternyata sebagian besar dari mereka menggunakan metode branding yang berbasis asumsi. Kalau kita buat ini, maka akan menjadi begitu. Karena pandangan konsumen seperti ini, maka kita harus begitu. Biar konsumen lebih ingat, sebaiknya kita buat seperti ini, dan asumsi-asumsi sejenisnya.
Dan saat pelaku-pelaku branding tadi ditanyakan jalinan profitnya, rata-rata mereka bingung. Saat ditanya, bagaimana warna merah dalam logonya akan menghasilkan profit, mereka tidak bisa menjawab, kecuali biar kelihatan eye catching. Bahkan ada sebuah bank yang baru saja diluncurkan dan dimiliki oleh pengusaha muda Indonesia, mempunyai warna sedemikian beragam yang bisa berubah-ubah, tergantung dengan situasi sekitar. Tujuannya? Biar terus menonjol. Lantas, kalau menonjol? Ya, biar menjadi berbeda. Kalau sudah berbeda? Tidak ada jawaban yang bisa dilarikan ke profit.
Bila tahun 2013 ini kita baru saja mulai jatuh cinta terhadap branding, sebaiknya pastikan bahwa cinta kita tidak buta dan sekadar cinta monyet yang cukuplah pada pandangan pertama. Pastikan bahwa branding kita memiliki jalinan ke profit secara langsung. Selain logo, seragam, model layanan, pastikan juga kita memiliki basis value yang kuat, dan differential advantage yang intangible dan bisa diterjemahkan ke dalam rupiah.
Tidak ada yang salah sebetulnya dengan membuat logo, tagline yang mentereng, dan desain produk yangciamik. Tapi, pastikan bahwa atribut tadi memiliki basis berpikir pada profit. Kalau ditarik, maka ujung-ujungnya duit. Bila kita belum sampai ke sana, ya tidak boleh kecewa kalau kemudian brand kita tidak ke mana-mana. Kecuali sekadar dapat pujian dan decak kagum karena visualnya bagus. Ada sih konsumen yang datang, sekalipun maksimal hanya setahun, setelah itu pergi entah ke mana. Setelah itu? Ya tidak boleh kecewa.
Nah, biar tahun 2013 akan secemerlang perekonomian Indonesia dan kita bisa berselancar mengambil profit di atasnya, ada baiknya kita kembali bertanya pada diri kita sendiri, ”Sudah adakah jalinan profit yang muncul dalam branding kita? Sudah bisakah diukur?”
0 komentar: